Jumat, 03 Januari 2014

ORGANISASI SOSIAL





ORGANISASI SOSIAL
(Laporan Responsi Sosiologi Pertanian)


Oleh  :

                         Cherli Medika                         
 1214131021



















JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013









I.                   PENDAHULUAN



A.      Latar Belakang


Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis.

Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.
Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis  keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
.

B.     Tujuan
Adapun tujuan yang akan dicapai yaitu, memberikan pemahaman mengenai pola hubungan antar suku bangsa,












II.         PEMBAHASAN



2.1     Pengertian Pola Hubungan Antar Suku Bangsa

Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Pola yang paling sederhana didasarkan pada repetisi: beberapa tiruan satu kerangka digabungkan tanpa modifikasi.

Suku bangsa atau kelompok etnik adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Suku bangsa juga diartikan sebagai suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat akan kesatuan bahasa yang digunakan, serta dengan kesatuan kebudayaan yang timbul karena suatu ciri khas dari suku bangsa itu sendiri bukan karena pengaruh dari luar.

Kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya yang memunculkan cirri khas dari masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep suku bangsa sangatlah kompleks, karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat meluas maupun menyempit tergantung situasi dan kondisi pada saat itu.

Jadi, Pola hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan golongan-golongan  manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.

2.2  Aspek-Aspek Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa

Koentjaraningrat (1967) menyatakan bahwa dalam menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan golongan, terdapat beberapa aspek-aspek penting, yakni:
1.   Sumber-sumber konflik antar suku bangsa
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.

Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sumber-sumber konflik menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
·         Persaingan untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
·         Warga suatu bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan kepada warga suatu suku bangsa lain
·         Memaksakan konsep-konsep agama terhadap warga suku bangsa lain yang berbeda agama
·         Usaha mendominasi suatu suku bangsa lain dengan politik
·         Potensi konflik terpendam karena permusuhan secara adat
Melihat beberapa faktor sumber penyebab konflik tersebut memang dalam mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut, yaitu :
·         Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
·         Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat.
·         Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama.
·         Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
·         Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
1.        Aspek kualitas warga sukubangsa
Perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik.

Perlunya diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

2.      Potensi untuk kerja sama menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
·         Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang berbeda-beda dan saling melengkapi
·         Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan kedua suku bangsa yang berkonflik
Berkaitan dengan hal tersebut di atas beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial, karena adanya perbedaan sumber penghidupan atau mata pencaharian, adanya pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari suku bangsa lain,adanya fanalistik, adanya dominasi dari salah satu suku bangsa, dan adanya permusuhan atar suku secara adat.
3.    Aneka warna bentuk masyarakat desa
Aneka warna bentuk masyarakat desa menurut Koentjaraningrat (1967), yani:
·       Prinsip hubungan kekerabatan
·       Prinsip hubungan tingkat dekat
·       Prinsip hubungan yang timbul dari dalam masyarakat pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
·       Prinsip tujuan khusus
·       Kerjasama dan konflik
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan.
Hubungan tingkat dekat merupakan hubungan antar individu ataupun kelompok yang memiliki kedekatan baik secara fisik maupun emosionalnya, prinsip hubungan lain seperti prinsip yang terbentuk karena adanya kebudayaan luar yang masuk kedalam masyarakat atau kelompok etnik tertentu, ataupun hubungan-hubungan karena tujuan tertentu dan kerjasama serta konflik yang terjadi dalam suku bangsa di masyarakat pedesaan.
4.      Mengikat warga desa menjadi persekutuan hukum
Masing-masing prinsip hubungan desa tersebut mengikat warga desa menjadi persekutuan hukum, yakni:
·       Persekutuan  hukum genealogis
·       Persekutuan  hukum teritorial
·       Persekutuan hukum atas kebutuhan yang disebabkan faktor ekologis
·      Persekutuan huku atas kebutuhan yang ditentukan karena ikatan dari atas     desa.
·      Persekutuan Genealogi adalah faktor yang mementingkan adanya pertalian darah suatu keturunan yang dalam kenyataannya tidak menduduki peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
·      Persekutuan hukum teritorial adalah faktor yang terkait pada suatu daerah tertentu yang memiliki peranan terpenting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
Menurut dasar tata-susunannya, maka struktur persekutuan-per­sekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
·         Genealogic (berdasar pertalian suatu keturunan).
·         Teritorial (berdasar lingkungan daerah)
·         Persekutuan genealogis, apabila seseorang menjadi anggota per­sekutuan tergantung daripada pertanyaan, apakah orang itu masuk suatu keturunan yang sama.
Dalam hal ini ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut:
·         Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Sumba.
·         Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal), seperti di Mi­nangkabau.
·         Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental), seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak; di sini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang, maka famili dari pihak bapak adalah sama artinya dengan famili dari pihak ibu.

2.3     Upaya Untuk Menciptakan Hubungan Antar Suku Bangsa Yang Harmonis
Pandangan dan penilaian terhadap suatu etnis atau suku bangsa tersebut sangat banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan sampai sekarang penelitian tentang hubungan antar etnis yang berbeda-beda terutama di Indonesia masih sedikit. Sehingga cukup kesulitan apabilakita ingin mengetahui sejauh mana kontak antar etnik dalam masyarakat Indonesia terjadi dan mendeskripsikan karakteristik dari tiap etnik atausuku bangsa tersebut.

Hubungan antar etnik atau suku bangsa sangat bervariasi, bahkan kadang reaksinya berbeda-beda, tidak semuanya bisa menimbul-kan konflik, tidak semuanya pula menjadikan suatu hubungan kerjasamayang harmonis, Kasus yang terjadi ketika konflik antara orang Madura dengan orang Dayak di Kalimantan Barat, tetapi tidak terjadi antara orangdayak dengan orang Jawa, padahal orang jawa juga banyak yang tinggaldi Kalimantan Barat.
Upaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis dan salingkerjasama diantara suku-suku bangsa yang berbeda-beda di negara-negara multi etnik seperti Indonesia merupakan masalah yang cukupberat. Berbagai upaya harus dilakukan secara terus menerus oleh semuapihak baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat Indonesia sendiri.

Pemerintah Indonesia harus membuat program-program pembangunanyang dapat mewujudkan hubungan kerjasama diantara suku bangsa yang berbeda-beda, menjamin adanya keamanan dalam melaksanakan hubungan tersebut, demikian juga masyarakat Indonesia harus mengem-bangkan sikap-sikap dan prilaku yang dapat menciptakan hubungankerjasama yang saling menguntungkan. Upaya untuk menciptakan hubungan antar etnis dan suku bangsa yang harmonis bisa dilakukan dengan memperluas kesempatan terjadi-nya kontak antar golongan etnis sejak dari usia dini sampai dengan orangdewasa melalui berbagai kegiatan, birokrasi, bisnis, pendidikan, olahraga, kesenian dan sebagainya.

Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dari berbagaiupaya tersebut menghasilkan reaksi terbalik, yaitu menciptakan danmemperkuat prasangka golongan etnis atau suku bangsa tertentu.
Beberapa konsidi yang tidak menguntungkan yang cenderung memperkuat prasangka adalah:
·      Bila situasi kontak menciptakan per-saingan diantara berbagai golongan;
·      Bila kontak yang terjadi tidakmenyenangkan, dipaksakan dan tegang;
·      Bila situasi kontak mengha-silkan rasa harga diri atau status dari salah satu golongan direndahkan;
·      Bila warga dari suatu golongan atau golongan sebagai keseluruhansedangn mengalami frustasi (misalnya baru saja mengalami kegagalanatau musibah, depresi ekonomi, dansebagainya), kontak dengangolongan lain bisa membentuk pengkambinghitaman etnis;
·      Bila kontakterjadi antara berbagai golongan etnis yang mempunyai moral ataunorma-norma yang bertentangan satu sama lain;
·      Bila dalam kontakantar golongan mayoritas dan golongan minoritas, para warga darigolongan minoritas statusnya lebih rendah atau berbagai karakteristiknyalebih rendah dari golongan mayoritas .

Pada masyarakat Indonesia hubungan antar suku bangsa itu sering dipengaruhi oleh pandangan-pandangan dan penilaian-penilaiandiantara mereka yang selama ini sudah terbentuk. Walaupun pandangan-pandangan dan penilaian-penilaian itu sifatnya relative dan berubah-ubah, namun ada kecenderungan menjadi pegangan awal bagi sukubangsa tertentu apabila pertama kali melakukan kontak hubungan kerjasama dengan suku bangsa yang berbeda.







III.             KESIMPULAN

Dari pembahasan yang terkaji dalam laporan ini dapat disimpulkan bahwa:
Pola hubungan antar suku bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan golongan-golongan  manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.