ORGANISASI SOSIAL
(Laporan
Responsi Sosiologi Pertanian)
Oleh
:
Cherli Medika
1214131021
JURUSAN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang
anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama.Identitas suku pun ditandai oleh
pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan
budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang tantangan-tantangan
dalam mengukur dunia etnis pada tahun 1992, "Etnisitas adalah sebuah
faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini
adalah sebuah gejala yang terkandung dalam pengalaman manusia" meskipun
definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog
Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interaksi, dan
bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses
yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis.
Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.Anggota suatu suku bangsa pada umumnya ditentukan menurut garis keturunan ayah (patrilinial) seperti suku bangsa Batak, menurut garis keturunan ibu (matrilineal) seperti suku Minang, atau menurut keduanya seperti suku Jawa.
.
B.
Tujuan
Adapun
tujuan yang akan dicapai yaitu, memberikan pemahaman mengenai pola hubungan
antar suku bangsa,
II.
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pola Hubungan Antar
Suku Bangsa
Pola adalah bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan) yang
bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian dari
sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai suatu yang
sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang mana
sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Pola yang paling sederhana didasarkan
pada repetisi: beberapa tiruan satu kerangka
digabungkan tanpa modifikasi.
Suku bangsa atau
kelompok etnik adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis
keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari
orang lain akan ciri khas kelompok tersebut, dan oleh kesamaan budaya, bahasa,
agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Suku bangsa juga diartikan sebagai
suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan
kebudayaan. Kesadaran dan identitas tersebut diperkuat akan kesatuan bahasa
yang digunakan, serta dengan kesatuan kebudayaan yang timbul karena suatu ciri
khas dari suku bangsa itu sendiri bukan karena pengaruh dari luar.
Kebudayaan
yang hidup dalam suatu masyarakat berwujud sebagai komunitas desa, kota, kelompok
kekerabatan, atau kelompok adat lainnya yang memunculkan cirri khas dari
masyarakat tersebut. Dalam kenyataannya konsep suku bangsa sangatlah kompleks,
karena dalam kenyataan batas dari kesatuan manusia yang merasakan diri terikat
akan keseragaman kebudayaan tersebut dapat meluas maupun menyempit tergantung
situasi dan kondisi pada saat itu.
Jadi, Pola hubungan antar suku
bangsa adalah bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang
digunakan untuk membuat atau untuk menghubungkan golongan-golongan
manusia yang anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya
terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
2.2 Aspek-Aspek
Dalam Hubungan Antar Suku Bangsa
Koentjaraningrat (1967) menyatakan bahwa dalam menganalisis pola hubungan antar suku bangsabdan golongan, terdapat beberapa aspek-aspek penting, yakni:
1. Sumber-sumber konflik antar suku
bangsa
Konflik
berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Konflik
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu
interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri
fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya.
Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang
tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Sumber-sumber konflik menurut Koentjaraningrat (1967), yakni:
·
Persaingan untuk memperoleh mata pencaharian yang sama
·
Warga suatu bangsa memaksakan unsur-unsur kebudayaan
kepada warga suatu suku bangsa lain
·
Memaksakan konsep-konsep agama terhadap warga suku
bangsa lain yang berbeda agama
·
Usaha mendominasi suatu suku bangsa lain dengan
politik
·
Potensi konflik terpendam karena permusuhan secara
adat
Melihat
beberapa faktor sumber penyebab konflik tersebut memang dalam mengatasi dan
menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu
konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak
yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau
tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak
ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Musyawarah untuk mupakat, yang ditempuh dan dicapai lewat negosiasi atau
mediasi, atau lewat proses yudisial dengan merujuk ke kaidah perundang-undangan
yang telah disepakati pada tingkat nasional, adalah cara yang baik pula untuk
mentoleransi terjadinya konflik, namun konflik yang tetap dapat dikontrol dan
diatasi lewat mekanisme yang akan mencegah terjadinya akibat yang merugikan
kelestarian kehidupan yang tenteram.
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut,
yaitu :
·
Abitrasi,
yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga dalam hal
ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima
serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas
apabila. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana
saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal.
·
Mediasi,
yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan
yang mengikat.
·
Konsiliasi,
yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama.
·
Stalemate,
yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang
seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini
terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur .
·
Adjudication
(ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan dengan
mengutamakan sisi keadilan dan tidak memihak kepada siapapun.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
1.
Aspek kualitas warga sukubangsa
Perlunya diberikan pemahaman
dan pembinaan mental secara konsisten dan berkesinambungan terhadap para warga
sukubangsa di Indonesia terhadap eksistensi Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor
pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau
konflik.
Perlunya diberikan pemahaman
kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan stereotip dan
prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan
bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut
masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang
mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam
masyarakat.
2. Potensi untuk kerja sama menurut
Koentjaraningrat (1967), yakni:
·
Warga dua suku bangsa yang berbeda dapat bekerja sama
dibidang sosial ekonomi karena masing-masing memperoleh mata pencaharian yang
berbeda-beda dan saling melengkapi
·
Ada golongan ketiga yang dapat menetralisir hubungan
kedua suku bangsa yang berkonflik
Berkaitan dengan hal tersebut di atas beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya konflik sosial, karena adanya perbedaan sumber
penghidupan atau mata pencaharian, adanya pemaksaan unsur-unsur kebudayaan dari
suku bangsa lain,adanya fanalistik, adanya dominasi dari salah satu suku
bangsa, dan adanya permusuhan atar suku secara adat.
3. Aneka warna
bentuk masyarakat desa
Aneka warna
bentuk masyarakat desa menurut Koentjaraningrat (1967), yani:
·
Prinsip hubungan kekerabatan
·
Prinsip hubungan tingkat dekat
·
Prinsip hubungan yang timbul dari dalam masyarakat
pedesaan sendiri tetapi datang dari atas desa
·
Prinsip tujuan khusus
·
Kerjasama dan konflik
Hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang
memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial,
maupun budaya. Hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk
mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan
silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek)
atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan.
Hubungan
tingkat dekat merupakan hubungan antar individu ataupun kelompok yang memiliki
kedekatan baik secara fisik maupun emosionalnya, prinsip hubungan lain seperti
prinsip yang terbentuk karena adanya kebudayaan luar yang masuk kedalam
masyarakat atau kelompok etnik tertentu, ataupun hubungan-hubungan karena
tujuan tertentu dan kerjasama serta konflik yang terjadi dalam suku bangsa di
masyarakat pedesaan.
4.
Mengikat
warga desa menjadi persekutuan hukum
Masing-masing
prinsip hubungan desa tersebut mengikat warga desa menjadi persekutuan hukum,
yakni:
·
Persekutuan hukum genealogis
·
Persekutuan hukum teritorial
·
Persekutuan hukum atas kebutuhan yang disebabkan
faktor ekologis
·
Persekutuan huku atas kebutuhan yang ditentukan karena
ikatan dari atas desa.
·
Persekutuan Genealogi adalah faktor yang mementingkan
adanya pertalian darah suatu keturunan yang dalam kenyataannya tidak menduduki
peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum.
·
Persekutuan hukum teritorial adalah faktor yang
terkait pada suatu daerah tertentu yang memiliki peranan terpenting dalam
timbulnya suatu persekutuan hukum.
Menurut dasar tata-susunannya,
maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
·
Genealogic
(berdasar pertalian suatu keturunan).
·
Teritorial
(berdasar lingkungan daerah)
·
Persekutuan
genealogis, apabila seseorang menjadi anggota persekutuan tergantung daripada
pertanyaan, apakah orang itu masuk suatu keturunan yang sama.
Dalam hal ini ada 3 macam
dasar pertalian keturunan sebagai berikut:
·
Pertalian
darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Sumba.
·
Pertalian
darah menurut garis ibu (matrilineal), seperti di Minangkabau.
·
Pertalian
darah menurut garis ibu dan bapak (parental), seperti pada suku Jawa, Sunda,
Aceh, Dayak; di sini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang, maka
famili dari pihak bapak adalah sama artinya dengan famili dari pihak ibu.
2.3 Upaya Untuk Menciptakan Hubungan Antar Suku Bangsa Yang Harmonis
Pandangan
dan penilaian terhadap suatu etnis atau suku bangsa tersebut sangat banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor dan sampai sekarang penelitian tentang
hubungan antar etnis yang berbeda-beda terutama di Indonesia masih sedikit.
Sehingga cukup kesulitan apabilakita ingin mengetahui sejauh mana kontak antar
etnik dalam masyarakat Indonesia terjadi dan mendeskripsikan karakteristik dari
tiap etnik atausuku bangsa tersebut.
Hubungan
antar etnik atau suku bangsa sangat bervariasi, bahkan kadang reaksinya berbeda-beda,
tidak semuanya bisa menimbul-kan konflik, tidak semuanya pula menjadikan suatu
hubungan kerjasamayang harmonis, Kasus yang terjadi ketika konflik antara orang
Madura dengan orang Dayak di Kalimantan Barat, tetapi tidak terjadi antara
orangdayak dengan orang Jawa, padahal orang jawa juga banyak yang tinggaldi
Kalimantan Barat.
Upaya untuk
menciptakan hubungan yang harmonis dan salingkerjasama diantara suku-suku
bangsa yang berbeda-beda di negara-negara multi etnik seperti Indonesia
merupakan masalah yang cukupberat. Berbagai upaya harus dilakukan secara terus
menerus oleh semuapihak baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat Indonesia
sendiri.
Pemerintah
Indonesia harus membuat program-program pembangunanyang dapat mewujudkan
hubungan kerjasama diantara suku bangsa yang berbeda-beda, menjamin adanya
keamanan dalam melaksanakan hubungan tersebut, demikian juga masyarakat
Indonesia harus mengem-bangkan sikap-sikap dan prilaku yang dapat menciptakan
hubungankerjasama yang saling menguntungkan. Upaya untuk menciptakan hubungan
antar etnis dan suku bangsa yang harmonis bisa dilakukan dengan memperluas
kesempatan terjadi-nya kontak antar golongan etnis sejak dari usia dini sampai
dengan orangdewasa melalui berbagai kegiatan, birokrasi, bisnis, pendidikan,
olahraga, kesenian dan sebagainya.
Namun demikian, tidak menutup kemungkinan dari berbagaiupaya tersebut
menghasilkan reaksi terbalik, yaitu menciptakan danmemperkuat prasangka
golongan etnis atau suku bangsa tertentu.
Beberapa konsidi yang tidak menguntungkan yang
cenderung memperkuat prasangka adalah:
·
Bila situasi
kontak menciptakan per-saingan diantara berbagai golongan;
· Bila kontak yang terjadi tidakmenyenangkan, dipaksakan dan tegang;
· Bila situasi kontak mengha-silkan rasa harga diri atau status dari salah
satu golongan direndahkan;
· Bila warga dari suatu golongan atau golongan sebagai keseluruhansedangn
mengalami frustasi (misalnya baru saja mengalami kegagalanatau musibah, depresi
ekonomi, dansebagainya), kontak dengangolongan lain bisa membentuk
pengkambinghitaman etnis;
· Bila kontakterjadi antara berbagai golongan etnis yang mempunyai moral
ataunorma-norma yang bertentangan satu sama lain;
·
Bila dalam
kontakantar golongan mayoritas dan golongan minoritas, para warga darigolongan
minoritas statusnya lebih rendah atau berbagai karakteristiknyalebih rendah
dari golongan mayoritas .
Pada masyarakat Indonesia hubungan antar suku bangsa itu sering dipengaruhi
oleh pandangan-pandangan dan penilaian-penilaiandiantara mereka yang selama ini
sudah terbentuk. Walaupun pandangan-pandangan dan penilaian-penilaian itu
sifatnya relative dan berubah-ubah, namun ada kecenderungan menjadi pegangan
awal bagi sukubangsa tertentu apabila pertama kali melakukan kontak hubungan
kerjasama dengan suku bangsa yang berbeda.
III.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang terkaji dalam
laporan ini dapat disimpulkan bahwa:
Pola hubungan antar suku bangsa adalah
bentuk atau model atau lebih abstrak, suatu set peraturan yang digunakan untuk
membuat atau untuk menghubungkan golongan-golongan manusia yang
anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan
garis keturunan yang dianggap sama ataupun faktor kesamaan lainnya terikat oleh
kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar